Rabu, 23 Januari 2013

"Cerita Ngentot Eksanti Mantan Bos Ku"


Note:
Segala macam bentuk adegan cerita di iDewasa.Blogspot.Com tidak untuk ditiru. Efek yang ditimbulkan dari cerita ini ditanggung pihak pembaca. Terima kasih.

Aku adalah seorang manajer disebuah perusahaan multinasional yang cukup ternama di Jakarta. Mungkin karena prestasi kerjaku yang dinilai lumayan oleh atasanku, maka pada usiaku yang baru menginjak kepala tiga ini, aku telah diberi kepercayan untuk menangani penjualan produk perusahaanku untuk berbagai area di Indonesia. Tugas ini mengharuskan aku untuk sering melakukan perjalanan ke luar kota, disamping itu kesibukan ini juga seringkali menyita hampir seluruh waktuku. Aku sering harus masih tinggal hingga larut malam di kantor, bahkan kadang-kadang juga masuk ke kantor pada saat week end, ketika teman-temanku yang lain sedang menikmati waktu istirahatnya di rumah. Untunglah segala jerih payahku ini juga mendapatkan kompensasi yang memadai dari perusahaan. Aku memiliki sebuah ruang kerja yang cukup luas dan nyaman, selain itu akupun dibantu oleh seorang asisten yang cantik.., Eksanti namanya.

Sebenarnya Eksanti sudah cukup lama membantuku sebagai asisten. Walaupun dalam struktur birokrasi perusahaan Eksanti adalah bawahanku, namun sebenarnya aku lebih senang memperlakukannya sebagai seorang teman. Hal itu bukan karena aku ingin membedakan perlakuan dengan anak buahku yang lain, namun memang aku tidak suka dengan hal-hal yang bersifat formal. Maka tidak heran bila lebih banyak anak buah yang memanggilku dengan sebutan “Mas”, ketimbang “Bapak”. Demikian pula dengan Eksanti, karena memang usia kami cuma terpaut kira-kira 3-4 tahun, sehingga memang lebih pantas baginya untuk memanggilku dengan sebutan “Mas”.

Walaupun demikian, Eksanti juga selalu bisa memposisikan dirinya, hingga meskipun kami sering bercanda namun sejauh ini hubungan kami adalah murni sebagai layaknya atasan dengan bawahannya. Kecantikan, keramahan dan kegesitannya telah menjadikan Eksanti sebagai sosok yang sempurna, sehingga aku sering mendengar bahwa banyak rekan-rekan sekantorku yang naksir kepadanya. Aku tidak begitu mengetahui apakah Eksanti telah memiliki pacar atau belum. Aku tidak terlalu peduli dengan hal-hal semacam itu, karena aku tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain. Terus terang sebelum kejadian itu, aku hanya sempat memperhatikan Eksanti untuk urusan-urusan kantor, namun entah mengapa hari itu dengan cepat telah merubah hubungan kami berdua.. begini ceritanya..

Sore itu, pukul 16.30, langit mendung menyelimuti kota Jakarta, sehingga suasana di luar sudah sangat gelap. Tiba-tiba aku mendengar bunyi gemericik air menimpa kaca ruangan di lantai 25 gedung kantor kami. Aku menolehkan kepalaku ke arah jendela ruanganku, ternyata hujan telah turun lebat sekali, dengan sesekali diiringi oleh kilatan petir yang tampak membelah langit hitam. Cuaca di luar menambah suhu udara di dalam ruangan kantor itu terasa dingin sekali.

Ketika aku kembali berkonsentrasi pada pekerjaanku, tiba-tiba aku mendengar ketukan di pintu ruang kerjaku. “Masuk!!”, aku menyahuti ketukan itu. Sesaat kemudian pintu terkuak, dan ternyata Eksanti yang meminta ijin untuk masuk ke dalam ruanganku untuk mengantarkan sesuatu berkas. Eksanti mendekat ke meja sambil menyodorkan berkas-berkas yang harus aku tandatangani. Aku memandangnya sesaat, ia mengenakan blouse kaos warna hitam ketat, yang dibalut dengan blazer warna biru cerah. Rok span warna hitam kira-kira setinggi 5 cm di atas lututnya membalut erat pinggulnya dengan masih menyisakan keindahan kakinya yang jenjang. Terus terang aku sangat menyukai bentuk kakinya yang kecil, langsing dan panjang itu, dan sepertinya Eksanti-pun juga menyadari ‘potensi’ kakinya itu, karena ia hampir selalu mengenakan rok yang menampakkan keindahan bentuk kakinya. Walaupun begitu ia tidak tampil seronok, namun elegant dan sangat sexy.. begitulah memang penampilan sehari-hari asisten ku yang cantik ini.

Seperti biasa ia meyodorkan kertas-kertas itu satu persatu, sambil menunjukkan mana-mana berkas yang harus aku tandatangani. Ia berdiri tepat di samping tempat dudukku, badannya membungkuk ke arahku sambil jemari tangannya yang lentik memilah-milahkan kertas-kertas yang telah selesai aku tandatangani. Posisi tubuhnya sangat dekat kearahku sehingga membuatku secara tidak sengaja bisa merasakan dengan sangat jelas bau harum parfumnya.

Sambil tetap menggoreskan tandatanganku, aku bertanya dengan nada jahil seperti biasa, “Santi pakai parfum apa sih, kok baunya harum sekali?”. Dengan tersenyum tersipu Eksanti menjawab pertanyaanku dan menyebutkan merk parfum favoritnya tersebut. Seperti biasa ia memang selalu malu-malu jika sifat jahilku muncul, dan matanyapun tidak berani menatap ke arahku.

Entah mengapa, mungkin karena cuaca dingin saat itu, maka sifat jahilku makin menjadi-jadi. Ketika aku telah menyelesaikan seluruh tandatanganku, aku menutup pulpen sambil menatap lurus ke arah dua bola mata indahnya dan kembali bertanya, “Aku suka sekali bau parfum kamu itu. Boleh nggak kalau aku menikmatinya lebih jelas lagi?”.

“Boleh, saja tapi gimana caranya?”, Eksanti balik bertanya, masih dengan nada malu-malu.

“Please, mendekatlah kemari”, aku menjawab.

Lalu Eksanti beranjak lebih merapatkan ke arah tempat dudukku, dekat sekali. Eksanti menyodorkan kepalanya ke arahku, sehingga ujung hidungku hampir-hampir menyentuh rambut kepalanya yang juga wangi itu. Aku baru menyadari bahwa ia mengenakan bando hitam dengan pita kecil warna hitam di atas rambutnya. Sekali lagi aku menghirup hawa wangi itu dan mencoba mencari sumber wangi parfumnya, yang ternyata berasal dari tengkuk di balik rambut panjangnya yang hitam itu. Secara refleks, tanganku mulai menyibakkan rambut di atas tengkuk lehernya, dan akupun melihat dengan jelas bulu-bulu halus yang nampak kontras di sepanjang tengkuknya yang putih itu. Aku mendekatkan ujung hidungku ke arah sana, dan..

“Hmm.. harum sekali, Santi”, begitu desahku dan akupun sedikit heran karena ternyata Eksanti tidak berusaha melakukan penolakan apapun ketika dengan sengaja aku hembuskan nafas hangatku di sepanjang lehernya. Hal itu membuat aku semakin berani untuk melakukan aksiku lebih jauh lagi. Dengan penuh kelembutan, aku menempelkan ujung hidungku ke atas bulu-bulu halus itu, dan aku mulai mencium tengkuk lehernya dengan mesra. Eksanti menggeliat pelan sambil mendesah mendesah lembut, “Achh.. udah Mas, Santi geli Mas..!!”.

Aku semakin tidak tahan mendengar desahan lembutnya yang seolah-olah menolakku. Aku sadar sepenuhnya bahwa itu adalah penolakan seekor merpati, yang akan terbang ketika hendak dijamah namun akan mendekat bila kita meninggalkannya. Aku semakin berani, bibirku beranjak mencium ke pipinya dengan lembut, lalu perlahan berpindah ke bibir tipisnya yang merah merekah. Tak dinyana, Eksanti membuka mulutnya, apalagi yang bisa aku hentikan sekarang? Aku ciumi mulutnya dengan penuh gairah, lidah kami saling bertautan dan bergulat dimulutnya. Birahi memuncak di ujung kepala.

Aku mengulum-ngulum bibirnya, lembut sekali. Lidah kami saling beradu, dan aku merasakan lidah Eksanti yang membalas hangat dengan mengulum lembut bibirku, membawa kami pada rasa nikmat dan debaran jantung yang luar biasa. Sementara itu bunyi printer diluar kamar kerjaku terasa sedikit mengganggu, namun kami berdua seolah tidak mendengarnya, karena gejolak birahi itu telah panas membakar dalam darah kami.

Sementara itu, sihir birahi makin memenuhi ubun-ubun, tangan kananku yang semula diam, pelan-pelan meraba dadanya, kenyal dan padat, sambil perlahan-lahan menggosok-gosokkan memutari payudaranya. Pelan-pelan jemariku berusaha membuka kancing blazer birunya satu persatu. Eksanti masih memejamkan mata, menikmati remasan di dadanya. Setelah semua kancing blazernya terbuka, tanganku mulai masuk kedalam sela-sela blouse kaos-nya, dan tangan Eksanti-pun secara refleks meraba-raba lembut di sekujur punggungku. Pelan-pelan aku mulai melepaskan kancing belakang BH nya, dan aku melepaskan BH dari balik blouse kaos yang Eksanti kenakan. Aku merundukkan kepala sambil menggigit ujung bawah blousenya, lalu menariknya ke atas dengan jepitan gigiku. Kini tampaklah menyembul di dadanya, bukit indah ranum dengan kulit sedemikian halus. Tak bisa tertahan lagi, aku tarik ke atas bra yang dipakainya. Sempurna!, payudara yang kenyal, kencang dan puting yang kecil kemerahan sebesar ujung korek api. Terbersit pikiran, puting payudara ini belum pernah digigit atau diremas oleh lelaki manapun! Putingnya masih sangat perawan!

Payudara Eksanti tidak terlalu besar, namun nampak kenyal dan sangat terawat, sungguh nampak sexy sekali di mataku. Aku semakin tidak bisa menahan gejolak rasa birahiku menyaksikan pemandangan indah itu. Aku mulai menggeserkan bibirku untuk menciumi lehernya yang panjang dan putih itu sambil meremas-remas lembut kedua payudaranya. Terasa putingnya mulai mengeras di tanganku. Aku masih memilin-milin lembut puting merah kecoklatannya itu, sambil lidahku terus menjilati di sepanjang leher dan dadanya.

Akhirnya bibirkupun sampai ke atas putingnya. Dengan segenap napas kuda, langsung aku mengisap puting payudara kanannya, sementara tanganku juga tidak tinggal diam, meremas payudara yang lain, demikianlah terus-menerus bergantian. Eksanti yang semula hanya memejamkan mata terdiam, mulai berdesis-desis pelan, menikmati sesuatu yang kemungkinan belum pernah dirasakannya. Aku menjilat-jilat puting kirinya dan Eksantipun mendesah lembut “Achh..”, sementara tanganku yang lain tetap meremas-remas mesra payudara kanannya. Lalu mulutkupun berpindah ke sisi dada kanannya, dan aku menjilat puting itu sambil tanganku menuju ke bawah di sela perut dan pahanya. “Achh.. Mas terus Mas..”, begitu desahannya. Putingnya semakin mengeras dan menyembul di atas payudaranya, seakan-akan menantang birahiku. Aku belum merasa cukup, mengisap dan menjilati payudaranya, aku mulai bergerak turun, menjilati perutnya, naik-turun. Desis Eksanti terus semakin cepat, sungguh hanya kenikmatan semata yang kini dirasakannya.

Aku semakin tidak tahan, kepalaku terus bergeser semakin ke bawah, aku berjongkok dan sekarang bibirku telah menyentuh perutnya. Lidahku segera menyapu-nyapu lembut di sekitar pusernya yang bersih itu, lalu semakin turun ke bawah lagi menuju bulu-bulu lembut di sekitar bibir kewanitaannya. Mendadak aku berhenti, aku ingin melihat matanya. Aku takut kalau ia menolak untuk tindakanku lebih jauh. Eksantipun membuka matanya, tetapi dari sinar matanya yang biasanya berbinar-binar, sekarang meredup, setengah terkatup. Dilihatnya pula mataku, aku tersenyum kepadanya

Suara desis dari mulut Eksanti makin cepat dan berat, ia sudah tidak lagi bisa berhenti. Aku sudah sampai ke tahap berikutnya, Eksanti sudah kehilangan pertahanan dirinya, aku harus cepat, kalau tidak, permainan ini bisa mendadak berhenti. Hup! dengan mendadak aku berusaha melepaskan celana dalam satin yang membungkus kewanitaannya dengan menggunakan gigiku. Eksanti kaget dan terbelalak, tetapi sebelum dia tersadar lebih lanjut, aku sudah membenamkan wajahku di antara kedua belah pahanya yang putih mulus itu, sembari menjilati paha dalamnya, dan ujung hidungku yang yang menyentuhi celana dalamnya. Celana dalamnya berenda-renda berwarna krem kulit, dan dari ujung hidungku, aku merasakan celana dalamnya sudah basah kuyup karena ia telah sangat terangsang. Eksanti masih membuka matanya dengan nanar. Dia melihat kepalaku yang tengah berada di antara pahanya.

“Eksanti, tutuplah matamu. Aku tidak akan menyakitimu” aku berkata pelan dan lirih, sambil tersenyum penuh pengertian padanya. Eksanti, kembali memandangku, dan pelan-pelan kembali menutup matanya. Eksanti, tidak mampu lagi menolak, ia kembali melemah, Eksanti sudah ada sepenuhnya ditanganku. Aku kembali menjilati paha dalamnya, tanganku sekarang mulai ikut bekerja, aku tarik pelan ujung bawah tepi celana dalamnya kesamping. Kini tampaklah bukit kewanitaannya, dengan rambut hitam yang sebagian menutupi. Bukitnya tampak sangat mulus dengan belahan bukit yang sangat rapat, kecil dan tidak bergelombang sedikitpun. Lidahku mulai menjilati belahannya, sementara tanganku tetap terus memegang tepi celana dalamnya. Aroma khas kewanitaan menyergap hidung, cairan yang terus membanjir dari kewanitaannya bercampur dengan air liurku, makin membuat aku bersemangat. Mulut Eksanti makin berdesis, sekarang ditingkahi dengan suara-suara kecil “occhh.. occhh..” berulang-ulang. Sungguh hanya nikmat semata yang ia rasakan.

Aku tidak sabar lagi, sembari kembali menjilati paha dalamnya, mulut dan gigiku kemudian segera beralih memegang ujung tepi atas celana dalamnya. Dengan sekali tarikan panjang!, lepaslah sempurna celana dalamnya. Kini tampaklah bukit indah di antara pahanya yang terpampang penuh, dengan rambut hitam segitiga, dan yang teristimewa, ada rambut halus memanjang di atas rambut kewanitaannya, menuju ke arah pusar. Inilah yang makin membuat aku terpesona, karena aku pernah mendengar dari teman-teman dekat, bahwa ciri istimewa dari putri atau cucu dalam raja-raja Jawa, adanya rambut halus memanjang ini.

Ketika celana dalamnya yang berenda-renda indah itu telah merosot diantara kedua pahanya, maka aku segera bisa melihat serta mencium bau wangi khas yang aku inginkan selama ini. Tentu aku makin bersemangat. Kini, kedua tanganku, terutama ibu jariku, memegang tepi-tepi kewanitaannya untuk membuka lubang rahasia itu lebih jauh, kini tampaklah semuanya. Betul!, bibir dalam kewanitaan Eksanti sangat utuh, lurus dan bagus, dengan warna semburat kemerahan, dan lubang sempit yang berada di dalamnya. Segera saja aku langsung menjilat-jilat bulu halus di sekitar kewanitaannya. Dengan penuh nafsu pula, aku jilati semuanya, terutama klitorisnya, yang makin terasa keras di ujung lidahku, terus-terus-terus, aku jilati, bagaikan tidak ada hari esok. “Hmm.. harum sekali wanginya”, desahku dalam hati, sambil mengagumi kepiawaian Eksanti dalam merawat tubuhnya. Eksanti merintih pelan, “Aduh Mas.. Santi tidak tahan..”.

Aku semakin berani, lidahku menjilat-jilat bibir kewanitaannya yang mulai membasah. Aku menghirup aroma wangi itu sambil terus lidahku menjilat-jilat liang kewanitaannya sampai menyentuh ujung klitorisnya. Eksanti semakin mengerang-ngerang dan klitorisnyapun kini telah menegang. Tanganku yang semula memegang buah pantatnya sekarang menuju ke atas kembali ke arah dadanya, seraya jemariku memilin-milin putingnya yang semakin mengencang. Eksanti semakin mengelinjang hebat, dan hampir mencapai klimaks, dan aku semakin merasakan derasnya air harum yang mengalir dari dalam lubang kewanitaannya. Aku terus menjilat-jilat hingga Eksanti duduk terhempas di atas kursiku seraya meremas-remas seluruh rambut kepalaku.

Desis Eksanti sekarang telah hilang, hanya muncul suara-suara “occhh.. occhh..” berulang kali dan tarikan napas yang makin panjang, berat dan dalam. Aku terus menjilati kewanitaanya. Setelah sekitar 20 menit, ujung lidahku merasakan makin membanjirnya cairan yang keluar dari lubang kewanitaannya, dan lubang itu juga makin sering menguncup dan mengembang. Eksanti menggelinjang keras dan suara eluhan panjang muncul dari bibir mungilnya, ia pun terengah-engah. Eksanti tengah mendaki puncak orgasmenya! Aku makin keras menjilati klitorisnya, dan aku menghisap pula lubang rahasianya, ia terus mengeluh panjang bagai tak pernah berhenti. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat, dan Eksantipun melentingkan punggungnya seraya kedua kakinya menjepit keras leherku, lalu.., “Mas, Santi nggak tahan lagii..”, Eksanti berteriak kecil mengiringi pencapaian puncak klimaksnya yang pertama. Setelah lenguhan panjang itu, Eksanti bagaikan kehilangan semua daya dan tenaga, ia tergeletak leMas, menutup mata dan bibir tersenyum puas.

Tubuhnya sedikit melemah, dan nafasnya masih memburu ketika jemarinya dengan sigap mulai melepas ikat pinggang dan resliting celanaku. Dengan tidak sabar Eksanti menarik ke bawah celana dan celana dalamku. Maka kejantananku yang sedari tadi sudah mengeras langsung menyembul keluar. Eksanti nampak agak terkejut melihat pemandangan itu. Pada mulanya aku merasakan ada keraguan pada Eksanti, kepalanya tidak segera tertunduk mengikuti kemauan tekanan tanganku yang ada dikepalanya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, segera kejantananku mulai terbenam di mulutnya yang basah. Dengan tidak sabar Eksanti mengulum-ngulum kejantananku itu dengan bibirnya yang mungil, sambil tangannya menarik-narik buah pantatku kearah mulutnya. Sementara aku menaik-turunkan tanganku sambil memegang kepalanya. Eksanti nampaknya belum pernah melakukan hal ini.

“Aduh Eksanti, jangan kena gigi, sakit aku.. hisap dan pakailah bibirmu saja”, aku sedikit mengeluh sambil memberinya petunjuk. Ternyata Eksanti nampak mengerti dan mengikuti kemauanku. Ia segera mengerti apa yang harus dilakukannya, aku tidak lagi merasakan tajamnya gigi Eksanti. Aku mulai menikmatinya, sementara tanganku tidak lagi memegang kepalanya, namun kembali memulai lagi meremas-remas payudaranya. Menit-menit berlalu, aku mulai merasakan munculnya rangsangan tinggi, spermaku hampir keluar. Eksanti rupanya tidak mengetahui hal itu. Aku kembali memegang kepalanya, menaik-turunkannya, agar kecepatannya sesuai dengan yang aku inginkan.

“Ouugghh.. enak sayangg..”, begitu erangku, ketika kejantananku hampir seluruhnya masuk kedalam mulut kecilnya. Eksanti menjilat-jilat kepala kejantananku lama sekali sampai-sampai seluruh otot-otot tubuhku menegang.

“Sayang, aku sudah tidak tahan lagi..”, begitu eranganku.

Seperti ada komando khusus, kami saling memposisikan diri. Aku menarik kejantananku dari mulutnya, dan aku arahkan ke lubang kewanitaannya sementara Eksanti berdiri dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Kami berdua berdiri berhadapan rapat, lalu sambil dituntun tangan Eksanti, aku menekan kejantananku dalam-dalam. Pelan sekali, lembut sekali..

“Aaacch!” Eksanti menjerit sambil memejamkan matanya erat-erat. Kejantananku yang kenyal-keras itu menerobos masuk dengan lancar, langsung membentur bagian yang paling dalam,.. langsung memicu orgasmenya. Cepat sekali!

Sambil bertelektekan di bibir meja, aku menenggelamkan mukaku di leher Eksanti yang sudah dibasahi keringat. Sambil mencium dan menggigit-gigit kecil, aku mulai menggenjot, mengeluar-masukkan kejantanannya penuh semangat. Eksanti mengangkat kedua kakinya, memeluk pinggangku erat-erat, mengunci tubuhku yang juga sudah berkeringat itu kuat-kuat. Perjalanan menuju puncak birahi dimulai sudah..

“Aaacch.. yang keras, Mas..!” desah Eksanti, merasakan orgasmenya yang kedua sudah akan tiba, dan ia ingin digenjot sekeras-kerasnya!

Aku menekan lebih keras lagi, sampai kadang-kadang meja kerjaku seperti bergeser diterjang tubuh kami berdua. Pangkal kejantananku -bagian paling keras itu- membentur lingkar-bibir kewanitaan Eksanti yang sedang berdenyut-denyut mempersiapkan ledakan pamungkas.

“Aaachh..!” Eksanti menjerit merasakan ledakan pertama menyeruak dari dalam tubuhnya, “..Ngga tahan, Mas.. Aaacchh..!”

Permainan cinta pertama ini berlangsung cepat sekali bagi Eksanti. Tidak lebih dari 15 menit. Tetapi dilakukan dengan sangat bergairah, sehingga setelah ia mencapai puncak, ia rubuh di atas kursiku. Aku berhasil menahan lava panasku dan mengikutinya menubruk tubuh Eksanti di atas kursi. Eksanti tersengal menahan tubuhku, dan terduduk di kursiku tak berdaya dengan sendi-sendi yang seperti copot! Sementara itu kejantananku yang keras menegang masih menancap erat di dalam liang kewanitaannya.

Semenit kemudian, ketika tenagaku kembali pulih aku mulai menggoyangkan kembali buah pantatku. “Achh..”, begitu desahnya begitu kepala kejantananku kembali menyentuh bibir kewanitaannya.

Aku desakkan pelan-pelan kejantananku, dan Eksantipun menarik buah pantatku ke arahnya. “Augghh.. enak Mass”, begitu desahnya ketika seluruh kejantananku kembali telah terbenam di dalam lubang kewanitaannya.

Lalu aku menarik, mendorong, menarik lagi, mendorong lagi. Aku merasakan kewanitaannya semakin basah. Kewanitaannya yang sempit itu semakin menjepit kejantananku. Dengan irama yang teratur aku menarik dan mendorongkan tubuhku kearahnya, Eksanti menyilangkan kakinya di belakang buah pantatku, sehingga terasa kejantananku terjepit disela-sela bibir kewanitaannya. Makin dalam.. dan semakin dalam kejantananku masuk kedalam liang kewanitaannya yang semakin membasah. Kami sama mengerang-erang penuh kenikmatan, dan peluh menetes dari lehernya, aku jilat-jilati peluh itu, aku ciumi seluruh leher dan belakang telinganya.

Lalu ketika irama kami semakin cepat Eksanti berkata “Ayo Mas.., lebih cepat Mas.. lebih dalam lagi.., please”.

Aku menggigit bibirku menahan rasa nikmat yang luar biasa, kejantananku semakin cepat dan semakin dalam menusuk-nusuk kewanitaannya, seluruh otot-otot tubuhkuku menegang. “Uchh sayang.. enak sekali..”, aku mengerang-mengerang sambil terus kugigiti bibirku.

Tak lama kemudian, ketika irama kami semakin cepat tubuhnya menegang sambil meremas rambut kepalaku dan mendesah, “Ougghh.. Mas, aku enak..sekali..”

Eksanti menjepit buah pantatku dengan menyilangkan rapat-rapat kakinya, dan aku pun menahan napas sambil terus menusuk-nusukkan kejantananku. Dinding-dinding kewanitaannya terasa memijat-mijat kejantananku, sehingga memberikan rasa nikmat yang luar biasa pada diriku. Aku menikmati ekspresi wajahnya yang mengalami orgasme dengan kenikmatan luar biasa yang belum pernah Eksanti alami selama ini, sambil matanya berkaca-kaca karena kenikmatan itu.

Aku terus menekan dan menghujam, ia sendiri juga sudah ingin meledak rasanya. Seluruh perasaannya seperti ingin tumpah ruah sesegera mungkin. Apalagi otot-otot kenyal di kewanitaan Eksanti kini mencekal erat, seperti meremas-remas dan mengurut-urut kejantananku. Aku juga tidak tahan lagi..

“Uuucch..!”, aku menggeram sambil menggenjot keras-keras lima kali.

“Ah-ah-ah-ah-ah!” Eksanti mengerang setiap kali genjotan maha dahsyat itu menerjang tubuhnya. Dan akhirnya, tidak lama kemudian..

“Ouughh.. sayang,.. Mas keluarr..”, aku mengerang kenikmatan ketika aku mengeluarkan lava panas dari kejantananku membasahi seluruh lubang kewanitaannya yang telah basah kuyup. “Aaachh..!” aku kembali mengerang keras, menancapkan dalam-dalam kejantananku dan bertahan di sana ketika lecutan-lecutan ejakulasi melanda seluruh tubuhku.

“Ooocch..!” Eksanti mendesah panjang merasakan cairah panas tumpah ruah di dalam kewanitaannya dan seperti memberi penyedap utama bagi geli-gatal orgasme ketiganya.

Eksanti mendekapku erat sekali, dan kepalakupun terkulai di lehernya sambil menikmati bau keringatnya yang merebak wangi. Lima menit sudah kami saling terkulai, lalu ketika debar jantung kami telah kembali normal, aku menarik kejantananku dari kewanitaannya.

“Eksanti, tolong ambilkan tissue di atas mejaku”, aku berujar pelan. Eksanti bangkit dari duduknya, masih dengan mata nanar, diambilnya kotak tissue di mejaku. Ia kemudian kembali ke arahku, sambil matanya masih memandang kejantananku. “Santi, tolong sekalian di bersihkan yaa..” kataku sambil menunjuk kejantananku. Lalu di lapnya pelan-pelan dan penuh keraguan kejantananku, matanya masih nanar dan penuh tanda tanya.

Meskipun kakiku sedah melemas, tetapi kejantananku masih menegang keras dan basah kuyup. Matanya nampak sangat gemas memandangi kejantananku, seakan ingin mengulumnya, akan tetapi ia nampak ragu-ragu.. Melihat hal itu, aku kembali mendekatkan kejantananku ke arah mulutnya, lalu Eksanti mencium dan menjilatinya sambil membersihkan lava panas yang masih menempel. Geli dan enak sekali rasanya ketika lidahnya menyapu-nyapu kejantananku itu.

Ketika kejantananku kembali bersih dan meleMas, kemudian Aku kembali memeluknya, sambil berbisik ditelinganya “Eksanti, jangan takut dan malu, aku dan kamu hanya manusia biasa dan sudah dewasa, kita berdua masih sama-sama belajar tentang hidup”, bujukku menenangkannya. “Kamu masih seperti dulu, Eksanti yang aku kenal”.


Keraguan, mulai pelan-pelan sirna di matanya, senyumnya mulai lagi muncul di matanya. Ia membalas bujukanku dengan membalas memelukku.

“Selamat!” pikirku selintas.

“Mas, Santi boleh keluar sekarang?”, sambil masih memelukku. Aku mengangguk sambil mencium keningnya. Wajahnya kembali tersenyum, Di ambilnya celana dalamnya yang bagus dari lantai, semula ia ingin menggunakannya di depanku. Ia kembali melihatku, ia tidak jenak dan sungkan, melihat laki-laki asing di depannya akan melihatnya memakai celana dalam. Ia melipat celana dalamnya, dan dimasukkannya ke kantong roknya. Ia berdiri, sambil memperbaiki kancing dan baju serta bra yang dipakainya.

Sambil kami mengenakan pakaian kami masing-masing, mataku tak lekang menikmati pemandangan yang sangat sensual itu. Dan setelah kami kembali berpakaian rapi, ia kembali memandangku. Masih dengan tersenyum, ia dekatkan wajahnya pada wajahku dan dengan segenap hati aku sambut. Aku memegang kepalanya, lalu aku mencium pipi dan keningnya.

Aku berbisik pelan “Aku, ingin segera bertemu kamu lagi, tunggulah telponku, thank you.., take care yourself“. Ia mengangguk dengan pelan. Eksanti berjalan ke arah pintu. Aku tahu untuk pertama kali ini ia berjalan ke arah pintu itu tidak memakai celana dalam. Sesampai di depan pintu, ia menoleh ke arahku, matanya kembali memancarkan harapan dan ketulusan. Ia mengangguk sambil tersenyum..

Eksanti pun keluar dari kamarku sambil berkata “Besok jangan nakal-nakal lagi yaa.. Mas..!!”. Akupun cuma mengedipkan sebelah mataku tanda setuju..

Kejadian pertama di akhir Desember 1996 itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sejak kejadian itu, hubunganku dengan Eksanti dalam suasana kerja formal tidak berubah. Ia memang masih tetap Eksanti yang dulu, yang cantik, cekatan dan pintar membawakan dirinya. Akupun walau jadi lebih sering memperhatikannya, namun sama sekali tidak pernah berusaha untuk memberi perlakuan khusus mengenai urusan-urusan kantor kepadanya. Aku memang selalu berusaha untuk memisahkan masalah pribadi dengan urusan kantor.

Sebenarnya aku juga tahu bahwa pada saat yang bersamaan Eksanti juga menjalin ‘affair’ dengan rekanku sesama manajer di kantorku. Aku sangat tahu hal itu, karena secara tidak sadar si manajer itu sering ‘berkonsultasi’ kepadaku mengenai ‘affair’-nya dengan Eksanti. Mungkin ia beranggapan bahwa aku berpengalaman untuk hal-hal seperti ini, dan karena ceritanya itu, aku jadi lebih banyak tahu mengenai Eksanti. Satu hal yang pasti, aku tidak pernah menceritakan hubungan khususku sengan Santi kepadanya, sehingga sampai detik ini ia tidak pernah tahu. Demikian juga aku juga tidak pernah menyinggung cerita manajer itu pada Santi, sehingga Eksanti tidak menyadari kalau aku mengetahui hubungan mereka.

Setelah kejadian pertama di ruang kerjaku itu kami harus berpisah sementara waktu, karena kantorku libur akhir tahun selama kurang lebih satu minggu. Sebenarnya aku merasa kangen sekali kepadanya, namun aku tidak berusaha ‘mengganggunya’. Kadang-kadang aku merasa cemburu dengan sikap Santi yang mendua, namun seperti prinsipku semula, aku tidak akan pernah mengganggu kehidupan pribadinya. Aku merasa bahwa Santi pun juga memiliki prinsip yang sama denganku. Hal inilah yang membuatku malah semakin ‘sayang’ kepadanya.

Hari pertama masuk kerja di bulan Januari 1997, cuaca masih tetap tidak bersahabat. Jakarta kembali hujan rintik-rintik, udara dingin sekali. Eksanti masih berada didepan komputernya, sementara aku sudah bersiap hendak pulang.

“Kok, Santi belum pulang?”, aku menyapanya.

“Saya nungguin hujan berhenti”, Eksanti menjawab sambil memandang lurus ke arahku

“Eksanti pulangnya ke arah mana sih”, aku melanjutkan bertanya

“Ke Selatan, Mas ke arah mana?”, jawabnya singkat sambil balik mengajukan pertanyaan.

“Ke arah Selatan juga. So, mau pulang sama-sama”, aku menawarkan diri dan Eksanti menjawab dengan anggukan kepala tanda setuju.

“OK, Santi tunggu di bawah yaa.. saya ambil mobil lalu kita pulang sama-sama”. kataku menutup percakapan kami.

Lalu kamipun turun bersama dalam satu lift, kami sama-sama terdiam. Sesaat mata kami beradu pandang, mata kami saling berbicara melebihi kata-kata.. ada secercah desiran menggelora dalam perasaan kami. Ketika lift berhenti di lantai dasar, Eksanti keluar menuju lobby depan dan aku bergegas mengambil mobil yang di parkir di belakang gedung kantor kami. Aku mempercepat langkahku menuju mobil, dan dengan agak terburu-buru aku membuka pintu dan setengah melemparkan tas kerjaku ke dalamnya. Setelah itu aku segera memanaskan mesin mobil sebentar, lalu segera memacu ke arah depan lobby ke tempat Eksanti sedang menungguiku. Aku menghentikan mobil tepat di sebelahnya sedang berdiri, lalu pintu sebelah kiri aku buka dari dalam, dan Eksantipun segera melangkah masuk. Sesaat mataku melirik ke arah kaki indahnya, darahku berdesir membayangkan peristiwa yang pernah aku alami bersamanya minggu lalu.

Mobil segera meluncur ke luar dari kompleks perkantoran kami. Jakarta macet sekali, apalagi di tengah gerimis di saat jam pulang kantor begini. Tidak ada pilihan lain kecuali mobil harus segera berjalan menuju ke arah kemacetan itu. Di dalam mobil kamipun ngobrol kesana kemari, dan akupun merasa beruntung ditemani mengobrol oleh seorang bidadari cantik di sebelahku di tengah-tengah kemacetan yang menjemukan ini.

AC di dalam mobil bertambah dingin oleh cuaca di sore itu, sementara minimnya sirkulasi udara membuat harum bau parfum tubuhnya semakin menggoda perasaanku. Aku sendiri sudah lupa kami mengobrol apa saja waktu itu, ketika tiba-tiba ditengah obrolan itu, aku memegang jemari lentiknya dan aku angkat ke arah hidungku. Aku mencium lembut jari-jari itu, dan aku hisap-hisap ujungnya sehingga Eksanti bisa merasakan desiran-desiran hangat dalam darahnya.

“Mas, jangan nakal aacchh..”, begitu katanya manja seolah-olah Eksanti tidak menginginkan rasa itu muncul dari dalam dirinya.

“Nggak apa-apa, yang penting Santi bisa menikmati ‘kan?”, begitu jawabku.

Eksanti duduk gelisah di sampingku ketika akhirnya kami bisa melepaskan diri dari kawasan macet di jalur lambat dan kini meluncur menuju ke arah kota. Sengaja aku tidak mengambil putaran terdekat untuk menuju arah selatan, karena aku ingin berputar-putar kota sejenak sebelum membawa Eksanti pulang ke rumahnya. Aku mengerti perasaan gelisahnya, mungkin ia sedikit khawatir aku akan berbuat ‘nakal’ lagi. Aku mencoba menghiburnya dengan mengelus-elus pundaknya sambil tetap berkonsentrasi dalam menyetir mobil. Jalanan ramai, sehingga mobil harus berjalan perlahan dengan gigi 3. Untunglah kaca jendela sedan kami dilapisi film cukup pekat, sehingga kalau aku ingin menyentuh dirinya, orang luar tak akan bisa melihat.

Belaian jemariku memberi rasa damai dihatinya dan kini Eksanti merapatkan duduknya, sambil memindahkan tanganku dari punggungnya. Tangan itu kini mendarat di paha kanannya, dan ia mengelus-meremas dengan sayang. Ketika aku sedikit mengerem mobil, payudara kanannya terhenyak di lenganku. Aku menggesek-gesekkan lenganku untuk menggodanya, dan ternyata godaanku menimbulkan rasa hangat menggairahkan di dalam tubuhnya. Putingnya cepat sekali menegang, dan seluruh bulatan kenyal payudaranya cepat sekali terasa gatal-geli. Aku merasakan Eksanti mulai terangsang oleh ‘kenakalanku’. Pastilah keteringatannya pada peristiwa dua minggu lalu juga memberikan andil pada rangsangan itu.

Lalu aku meletakkan tangannya di pangkuanku, sementara tangan kiriku masih tetap berada di atas pangkuannya. Tangan kananku tetap mencoba berkonsentrasi pada stang stir mobil. Aku melirik sebentar kearah wajahnya, Eksanti tersipu-sipu, dan matakupun beralih sesaat ke kaki indahnya. Achh.. aku semakin tidak tahan menahan gejolak batinku yang semakin menggelora menikmati pemandangan indah itu. Lalu dengan sedikit keberanian yang tersisa aku singkapkan sedikit ke atas rok yang Eksanti kenakan, sebuah rok span warna hitam dengan bunga-bunga kecil berwarna coklat. Tanganku menyingkap roknya, yang memang tidak terlalu panjang itu.

“Kakimu indah yaa..”, begitu kataku, dan Eksantipun semakin tersipu.

Degupan jantungku yang kian bertambah kencang, menambah rasa keberanianku. Jemari tanganku mulai membelai-belai dengan lembut kaki bagian atasnya yang telah tersingkap. Eksanti mendesis lirih, “Achh.. Mas..”, dan desisannya itu membuat aku semakin berani untuk merayapkan jemariku menuju pangkal atas kakinya. Lalu Eksanti membukakan pangkal atas kakinya, dan tangan kirinya membibing tanganku menuju ke arah daerah sensitifnya.

Eksanti merebahkan sedikit sandaran kursinya, memajukan duduknya. Nah, kini dengan mudah tangan kiriku bisa mengelus-elus daerah kewanitaannya, yang tentu saja masih terbungkus celana dalam satin putih halus. Eksanti mendesah dan menggigit pundakku ketika aku mulai menggunakan jari tengahku, menelusup di antara celah kewanitaannya yang sudah mulai lembab itu. Aku berkonsentrasi ke jalan, tetapi jariku juga tidak pernah luput menemukan titik-titik rangsang di sela pahanya. Untuk hal yang satu ini, aku merasa sudah sangat ahli. Jangankan sambil menyetir, sambil berlari pagi pun rasanya aku selalu bisa merangsang dirinya.

Eksanti merenggangkan kedua pahanya. Jemariku membuatnya kegelian, sekaligus membuatnya ingin bertambah geli lagi, bertambah gatal lagi, bertambah basah lagi. Eksanti mengerang dalam bisikan, merasakan cairan hangat mulai muncul di bawah sana. Pelan-pelan merayap turun, membasahi liang kewanitaannya, menimbulkan noda di celana dalam satin warna putihnya. Posisi duduknya kini sudah terlalu maju ke depan, sehingga hampir tak bertumpu di kursi. Hanya sepertiga dari buah pantatnya yang menyangga tubuhnya. Sandaran kursi semakin diturunkan, sehingga Eksanti sudah setengah terlentang. Kedua lututnya terangkat dan semakin terpisah, memberikan lebih banyak keleluasaan kepada tanganku yang cekatan.

Tanganku merasakan lembutnya daerah pangkal pahanya, dan aku juga merasakan adanya bulu-bulu lembut yang menyeruat dari balik celana dalam satin berenda yang membalut erat kewanitaannya. Aku semakin tidak tahan, lalu aku semakin berani menyelipkan jari tengahku melalui belahan samping celana dalamnya menuju bibir kewanitaannya. Eksantipun semakin mendesis, “Ughh..”, sembari tangannya memegang erat jok mobil disisi kanan kirinya. Terasa olehku lembutnya bibir kewanitaannya dan lelehan air wangi yang mulai mengalir deras dari dalam lubang bibir kewanitaannya. Aku mengusap-usap lelehan air wangi itu dengan ujung jariku, lalu kutarik sesaat jariku dari balik celana dalamnya, kulumat pelan-pelan jariku dengan mulutku, pelan.., pelan sekali, lalu jemariku yang basah oleh ludahku merayap kembali ke pangkal pahanya. Eksanti tampak sangat menikmati permainanku, dan mulai mendaki puncak orgasmenya..

Tiba-tiba lampu lalulintas menyala merah! Aku cepat-cepat menekan rem. Ban mobil berdenyit. Aku melihat ke spion, takut ada mobil yang terlampau dekat di belakang. Ternyata tidak. Mobil berikutnya cukup jauh, dan segera mengurangi lajunya ketika melihat lampu rem mobil kami menyala. Tak urung, mobil itu tersuruk ke depan, hampir saja melewati batas lampu merah. Eksanti kaget, tersentak dan meluncur ke depan. Tanganku terlepas dari selangkangannya. Eksanti jatuh terduduk di kompartemen depan, lalu tawanya meledak!

“Sorry, Santi..,” ucapku sambil ikut tertawa.

Eksanti bangkit, dan kembali ke posisi duduknya. “Ach.. sialan, tuh, lampu merah!” sergahnya masih tertawa. Buyar sudah pendakian orgasmenya yang sudah hampir meledak. Rasa nikmat segera diganti rasa lucu.

Lalu lintas terhenti di lampu merah. Aku melihat kiri kanan, takut ada orang iseng yang memperhatikan aktifitas kami berdua. Tetapi tampaknya tak seorang pun bisa tahu apa yang terjadi di dalam sedan hijau gelap itu. Terlalu gelap. Hanya tampak bayangan dua orang duduk. Satu di belakang setir, dan satu agak tertidur. Itu saja.

Sambil menanti pergantian arus lalu lintas, aku semakin berani. Aku menelusupkan tangan ke dalam celana dalamnya. Hangat sekali tubuhnya di bagian bawah itu. Sudah basah pula di sana-sini. Jari tengahku menemukan tonjolan kecil-kenyal di lepitan atas kewanitaannya. Aku mengelus pelan tonjolan itu. Eksanti mengerang, menggeliat kecil, memejamkan matanya. Sentuhan pertama di bagian itu selalu menimbulkan rasa campuran: enak dan mengejutkan. Seperti disengat lebah, tetapi tentu tidak sakit. Sengatan yang justru memberikan nikmat. Apalagi kemudian aku memutar-mutar ujung jariku di situ, perlahan saja, seperti seseorang sedang meraba-raba di dalam gelap. Ahh.., Eksanti semakin merasakan rasa nikmat merayapi tubuhnya.

Kembali aku menarik jariku dari balik celana dalamnya, lalu aku melumat pelan-pelan jariku dengan mulutku.

“Achh.. harum sekali..”, begitu kataku. Namun Eksanti semakin tidak sabar, ia menarik lagi tangan kiriku dan kembali diarahkan ke daerah sensitif itu. Sementara tangan kanannya, mencoba menurunkan celana dalamnya.

Ketika lampu kembali menyala hijau, kami masih saling menikmati aktifitas percintaan itu. Pengendara mobil belakang tak sabar, menekan klakson keras-keras. Aku cepat-cepat menekan gas, membuat sedan kami melesat cepat dengan suara ban berdenyit. Masih dalam posisi gigi 2, aku menekan pedal gas. Sebetulnya, ini praktek yang tidak sehat untuk mobil. Tetapi tangan kiriku masih sibuk, maka aku memaksa mobilnya bergerak walau mesinnya terdengar menggerendeng seperti memprotes. Untung saja sedan ini masih baru, sehingga tak berapa lama jalannya pun sudah lancar. Aku mempertahankan gigi 2 karena lalulintas toh masih tersendat.

Kini celana dalam Eksanti telah turun sampai ke lututnya, sehingga bibir kewanitaannyapun telah terbebas. Tanganku semakin beraksi masuk kedalam lubang bibir kewanitaannya, aku sentuh pelan-pelan lipatan-lipatan bibir kewanitaannya. Jariku menggelincir turun. Eksanti menggeliat, mengangkat pantatnya, bergeser ke kanan. Jari tengah itu pun masuk, menyelinap ke liang kewanitaannya. Licin sekali di bawah sana, hangat dan berdenyut pula. Ohh,.. Eksanti menggeliat lagi. Jari nakal itu seperti sedang menggoda dengan gelitikan-gelitikannya. Menimbulkan serbuan-serbuan geli-nikmat yang memenuhi sekujur tubuh. Eksanti segera tenggelam dalam lautan birahinya sendiri, sejenak ia lupa bahwa dirinya masih berada di mobil yang sedang merayapi kemacetan ibukota.

“Achh.., Santi enak sekali Mas!!”, Eksanti menjerit pelan, sementara air wanginyapun semakin deras mengalir. Kini jari tengahku telah terbenam sebagian di dalam lubang bibir kewanitaannya, dan Eksantipun beringsut sesaat dari tempat duduknya mencoba untuk memberi jalan masuk jemariku lebih dalam lagi.

“Teruss.. Mas.. teruskan Mas.. jangan berhenti”, Eksanti mengerang-erang kenikmatan.

“Yaa.. sayang.. lepaskan emosimu.. berteriaklah, Mas sangat ingin mendengarnya, berteriaklah yang keras..”, aku berbisik. Jemariku telah terbenam seluruhnya ke dalam lubang bibir kewanitaannya, aku menarik dan menusukkannya pelan-pelan, lembut.. lembut sekali.

Jalan di depan kini semakin lancar. Tak mungkin mobil dijalankan tetap dengan gigi 2. Lalu bagaimana caranya?

“Biar saya yang pegang persneling..,” tiba-tiba Eksanti berucap. Duh, Eksanti ternyata mengerti ‘perasaan’ mobil juga! Aku mengurangi gas, menekan kopling, membiarkan dirinya memindahkan persneling ke gigi 3. Mobil melaju dengan cepat

Jari tengahku kini sudah masuk setengahnya, berputar-putar perlahan menyentuh-nyentuh dinding kewanitaannya. Tubuh indahnya bergetar halus, bukan saja oleh getaran mobil, tetapi juga oleh birahi yang kini mulai mendaki puncak. Jalanan semakin lancar. Aku mengurangi gas, menekan pedal kopling. Eksanti cepat-cepat memindahkan persneling ke gigi 4, lalu menggeliat merasakan jariku menyentuh bagian dalam kewanitaannya. Ahh.., nikmat sekali dicumbu kekasih sambil menukar-nukar persneling! Mobil melaju menembus Jalan Sisingamangaraja yang mulai lancar. Lampu kebetulan selalu hijau, sehingga aku tidak perlu mengurangi kecepatan. Jariku kini keluar-masuk perlahan-lahan, sambil sekali-kali memutar. Eksanti tetap berpegangan di persneling, sementara tangan yang satu erat mencengkram meremas pinggiran jok.

Mobil berjalan lancar, sehingga persneling tidak perlu dikontrol lagi. Maka tangan Eksanti melepas handle persneling dan membuka kancing atas bajuku, satu-persatu dengan ketrampilan dan ketenangannya. Tak lama kemudian, dadaku yang bidang telah terbuka sebagian. Lalu Eksanti membungkukan badannya sedikit, dan .. aku menggeliat kegelian ketika bibir basah Eksanti tiba di putingku yang kecil. Rasanya seperti disengat kenikmatan dan aku mengerang pelan. Eksanti bahkan lalu mengulum dan menyedot, sehingga aku tak lagi hanya mengerang tetapi juga merintih. Enak sekali, ternyata jika seseorang bermain-main dengan puting susu! pikirku dalam hati.

Tiba-tiba Eksanti memeluk bahuku, lalu mencium leherku sedikit di bawah kuping. Aku menggeliat kegelian, lalu tangan kiriku balas memeluk pinggang Eksanti untuk merapatkan tubuhnya ke arahku. Kemudian aku mendengar ia berbisik dengan nafasnya yang hangat menyentuh tengkukku, “..sekarang giliran Mas juga, yaa..”

Tangan kecilnya yang semula mencengkeram erat sisi jok mobil itu, telah berpindah di atas resliting celanaku. Tangan Eksanti cepat sekali telah menurunkan resleting celanaku yang diam saja tak tahu harus berbuat apa. Lalu dengan lembut tetapi agak memaksa Eksanti meremas-remas dengan lembut kejantananku yang sedari tadi telah menegang keras sekali. Dengan tidak sabar Eksanti membuka celanaku, jari-jemarinya yang letik mulai mengelus-elus di atas celana dalamku yang telah menggembung dan agak basah di sana-sini. Ah, aku pun hanya bisa memejamkan mata, membiarkan apa pun yang akan terjadi berikutnya. Aku pasrah saja. tangan kecilnya mencoba meraup kejantananku dari balik celana dalam katun yang aku kenakan.

Tangannya kini telah menggegam kejantananku yang mencuat keatas, dan tangannya mencoba bergerak naik turun disepanjang kejantananku. Jemari itu lalu meremas pelan, mengelus dan menelusur ke atas ke bawah. Aku memejamkan mataku erat-erat, seakan memastikan bahwa ini adalah sebuah mimpi yang nyata, sebuah kenyataan yang aku impikan. Tubuhku meregang merasakan jemari itu melakukan sesuatu yang menakjubkan, membuat seluruh daerah di bawah perutku terasa tiga kali lebih besar dari biasanya.

“Achh..”, aku mendesis pelan, sembari tangan kiriku tetap menusuk-nusuk bibir kewanitaannya dengan irama yang semakin cepat dan semakin cepat. Eksanti semakin mengelinjang-gelinjang merasakan kenikmatan luar biasa.

“Mas.. makin dalam..Mas, makin cepat Mas.. please..”, Eksanti berteriak-teriak lirih. Nafasnya memburu, merasakan dirinya kini tengah mendaki menuju puncak asmara. Oh, mudah-mudahan tidak ada lampu merah. Mudah-mudahan mobil lancar terus sampai Radio Dalam.

Mulut Santi terus mengulum putingku yang kecil, tangannya terus menggosok-meremas. Dua sumber kenikmatan saling bertumbukan di tubuhku, menyebabkan badanku bergetar hebat. Sebuah desakan gairah mulai terkumpul di tubuh bagian bawahku, membuat kedua pahaku terasa berat untuk memainkan pedal gas dan kopling. Seluruh otot tubuhku seperti sedang bersiap-siap meledak, seperti seorang lifter bersiap-siap mengangkat barbel, seperti kuda yang berancang-ancang melompat, seperti burung garuda yang bersiap mengudara.

Gerakan Santi makin cepat, dan sedotan mulutnya makin kuat memilin-milin putingku yang tentu saja tak pernah lebih besar dari semula. Tidak seperti puting payudara Eksanti. Tangan Eksanti naik-turun dengan bergairah, begitu cepat sehingga hanya tampak dalam bayang-bayang. Lalu, dengan tiba-tiba Eksanti merunduk, Eksanti mengarahkan mulut kecilnya menuju kejantananku yang sedari tadi menegang ke atas. Eksanti menciumi kepala kejantananku yang juga mengeras, Eksanti menjilatinya dan darahkupun mengalir deras ketika lidah lembutnya menyentuh lubang kecil kejantananku.

“Achh.. geli, tapi enak sekali..”, aku berkata lirih. Lalu mulut kecilnya mulai mengulum-ngulum kepala dan badan kejantananku, sementara tanganya tetap bergerak keatas kebawah seirama dengan gerakan mulut kecilnya itu. Semakin cepat, dan semakin cepat.., dan jantungkupun berdegup semakin keras. Jari tanganku juga semakin cepat menusuk-nusuk lubang bibir kewanitaanpun, seirama dengan gerakan mulutnya yang mengulum-ngulum kejantananku.

“Cepat, mass..” desahnya sambil menggeliat. Aku melihat spedometer, lho.. ini sudah 80 km per jam. Kurang cepat apa? “Cepat, Mas.. ” desahnya lagi. Ah, tololnya aku! sergahku dalam hati. Eksanti tidak menyuruhku menancap gas mobil. Eksanti menyuruhku mempercepat gerakan tanganku. Sambil menahan senyum, aku pun mempercepat gerakan jariku. Keluar-masuk. Berputar. Keluar-masuk. Berputar. Semakin lama, semakin cepat. Semakin membuat Eksanti menggeliat, mendesahkan erangan-erangan kecil, dengan nafas yang semakin memburu. Eksanti sedang menuju klimaks. Kedua kakinya semakin mengangkang. Punggungnya melenting, kepalanya mendongak dengan mulut setengah terbuka. Kedua tangannya erat mencengkram sisi-sisi jok. Oh, sebentar lagi. Sebentar lagi.., sedikit lagi..

Beberapa saat kemudian, “Oocchh..Mas, Santi nggak tahan..”, Eksanti menjerit sambil menggigit kepala kejantananku dengan lembut, sementara tangannya tetap mengocok-ngocok kejantananku semakin cepat. Aku mengerang panjang ketika akhirnya aku tak bisa lagi menahan serbuan puncak birahi menerjang mencari jalan keluar. Apalagi kemudian satu tangan Eksanti yang masih bebas, ikut bermain di bawah sana, memegangi kantong di bawah kelaki-lakianku yang seperti mengeras-membatu. Tangan Eksanti meremas pelan kantong kenyal itu. Pelan saja, tetapi sudah cukup membuat aku menggeramkan penyerahannya, mengerangkan kepasrahannya, ketika dengan deras cairan hangat kentalku hendak lepas dari tempat persembunyiannya, ingin menghambur keluar.

Sepuluh detik berselang, aku merasakan seluruh otot badanku menegang, dan akhirnya..”Oochh.. sayang.. Mas mau keluarr..”, aku berkata setengah berteriak dan Eksanti semakin mempercepat irama gerakan mulut dan tangannya. Kenikmatan yang aku rasakan semakin memuncak dan.. “Sayangg.. Mas keluarr..”, aku menjerit pelan, seraya mengeluarkan ledakan lava panas pertamaku di dalam mulutnya. “Ochh..”, Eksanti terkaget sejenak, tetapi tetap mengulum kejantananku. Kini yang aku dengar dari mulut Eksanti hanya suara “Aarrcchh.. aarrccrhh.. aarrcchh..”, sambil melepas kejantananku dari mulutnya dan membantingkan badannya turun dari atas pangkuanku.

Dengan nafasku yang masih terengah-engah, aku memiringkan sedikit pinggang dan badanku, agar semprotan lava cintaku tidak mengenai muka dan rambut Santi. Kurasakan kenikmatan yang luar biasa pada ledakan-ledakanku berikutnya, geli.. tapi nikmat sekali.. Lava panas ledakanku yang pertama menetes deras dari mulut kecil Eksanti, membasahi badan kejantananku, licin dan nikmat sekali. Lalu Eksanti menyapu-nyapu kejantananku dengan lidahku mencoba menghisap kembali lava nikmat itu.. Lampu jalanan di luar kendaraan tampak memudar di mataku. Jok mobil yang aku duduki terasa seperti awan yang membumbung membawa tubuhku melayang. Jemari dan tangan Eksanti masih meremas menggosok. Mulutnya yang basah masih mengulum-menyedot. Dunia nyata seakan berkeping-keping. Meledak menghamburkan pijar-pijar pelangi di kepala ku. Sungguh menakjubkan!

Lalu sepi bagai turun dari langit. Aku tergeletak lemas. Nafas kami berdua masih memburu. Eksanti mengelap mulutnya yang penuh dengan ceceran cairan cintaku dengan tangannya, lalu memencet hidungku sambil berkata “Mas jahaat.. mau keluar tidak bilang-bilang, sampai ada yang sedikit masuk ke mulut Santi..”, sambil terus memelukku dan mencium pipiku. Aku membalas memeluk dan mencium bibirnya, seraya berbisik mesra. “Saayaang.. tidak apa apa, itu protein kok.., bukan cairan kotor..!”

Dua menit berlalu, lalu Eksanti mengelap kejantananku dengan tissue basah dan menutup kembali resliting celanaku dengan pelan. Sementara kejantananku masih tetap menegang. Eksantipun juga menaikkan kembali celana dalamnya, menutup bulu-bulu lembut di atas bibir kewanitaannya.

Tak terasa kami telah sampai di mulut jalan kecil menuju rumahnya. Tangannya masih tetap meremas jemariku, ketika mobil telah sampai di depan pagar rumahnya. Mobil kami berhenti dengan mesin dan AC yang masih tetap menyala.

“Sudah, ah.., nanti ketahuan orang di rumah!”, sergahnya ketika aku hendak mulai membelainya. Aku tertawa lagi.

Aku memeluk dan mencium dahinya seraya berkata, “Santi, terima kasih sayang..”

“Mas, udah lega belum..?”, ujarnya seraya matanya menatap sayu ke arahku.

“Tentu sayang.., kamu memang paling pinter membahagiakan mas”, pujiku tulus kepadanya.

“Santi juga puas Mas.., tapi kadang-kadang Santi takutt..”, Santi berkata pelan sambil menunduk.

“Takut..kenapa?”, aku sedikit kaget dengan pernyataannya.

“Takut kalau ada yang tahu.., terus juga takut ntar kalau Santi kepinginn.. jalan terus sama Mas, gimana?”

“Achh.., Santi kan tinggal bilang sama mas”, aku menjawab sekenaku sambil tersenyum geli. Aku memang tidak terlalu siap untuk menjawab pertanyaannya dengan serius. “..tapi kalau Mas yang ketagihan gimana?” aku balik bertanya penuh canda, mencoba menetralisir suasana.

“Achh.. nggak tahu achh.. Santi suka pusing kalau mikirin yang beginian”, jawabnya mengelak pertanyaanku.

“OK.., kalau begitu kita jalanin aja yaa.., nggak usah dipikir-pikirin. Ntar pasti juga ada jalan keluarnya. Sampai besok yaa..”, aku berkata pelan sambil sekali lagi mencium keningnya dan membantunya membuka pintu mobil dari dalam.

“Hati-hati yaa.. Mas, besok lagi yaa..”, ucapnya penuh arti sebelum menutup pintu mobil, mengakhiri perjumpaan kami malam itu.

Akupun tersenyum sambil mengangguk. Mobil berlalu, dan aku masih terbayang kenikmatan yang baru saja kami alami, aku meraba kejantananku.. achh.. dia telah terkulai kecapekkan. Segala imajinasi birahi lenyap dari kepalaku, seperti api yang padam disiram berember-ember air dingin. Mobil meluncur cepat, masuk ke jalan tol, melaju ke arah selatan, ke rumahku.

Sore hari di bulan Februari tahun 1997, aku masih ingat betul kejadian itu. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, sementara aku masih duduk di ruang kerjaku merenungkan situasi ekonomi yang tidak juga kunjung membaik. Aku benar-benar pusing memikirkan hal itu, dan aku merasa butuh penyegaran bagi otakku yang mulai suntuk. Lalu aku mulai menyalakan modem dan men-dial website favoritku. Ketika aku sedang iseng-iseng melakukan surfing di web site itu, tiba-tiba temanku si manajer masuk ke dalam kamarku.

“Hei, lagi ngapain lu..”, ia bertanya singkat.

“Biasa.., lagi iseng surfing di internet”, jawabku tanpa melirik ke arahnya.

Aku dan dia memang terbiasa untuk menyapa dengan pangilan elu dan gua, kecuali untuk saat-saat yang sangat formal. Kami memang telah saling mengenal dekat cukup lama, dan kami pun dulu belajar di peguruan tinggi yang sama. Kedekatanku dengan dia membuat kami tidak perlu saling merasa sungkan untuk menceritakan hal-hal yang sangat pribadi, termasuk pengalaman kami masing-masing dengan teman-teman wanita. Baik pengalaman waktu kuliah dulu, juga pengalaman kami sekarang saat kami sama-sama telah menjadi manusia dewasa. Hanya saja, sejauh ini aku sama sekali tidak pernah menceritakan affairku dengan Eksanti demikian pula dengan si manajer itu, hingga kejadian sore itu.

Lalu aku melanjutkan lagi.. “..ehh.., elu tahu nggak aku menemukan fotonya Eksanti di internet”.

“Ahh.. masa, coba lihat”, ia bertanya dengan nada penasaran, sambil berjalan ke arah belakang tempat dudukku. Ia menarik kursi, dan duduk di sebelahku. Lalu aku mencari file yang aku maksud, dan segera membukanya.

“Naa.. ini ‘kan Eksanti”, aku menunjuk gambar seorang wanita yang sedang berpose menantang di layar komputerku. Aku sebenarnya tahu persis bahwa gambar itu bukanlah Eksanti, walau wajah wanita itu memang benar-benar mirip dengan Eksanti.

“Acchh.. ngawur kamu”, ia melontarkan pendapatnya, “..wajahnya memang mirip, tapi payudaranya terlalu besar.. achh”.

“Emang, elu tahu ukuran Santi?”, aku bertanya dengan sedikit nada heran bercampur sedikit rasa cemburu.

“Hee.. he.., tanya sama gua dong. Gua kan pernah begini sama dia”, katanya dengan nada bangga sambil meremaskan kedua tanggannya di dadaku.


“Achh.. lu, ngarang ‘kalii..!!”, aku mengomentari pernyataannya dengan segala usaha untuk menyembunyikan rasa cemburuku.

“Lu.., nggak percaya.., hee.. hee.. gua kan udah lebih lama ngenal dia daripada elu, jadi gua tahu persis segala-galanya tentang dia”, ia berujar lagi.

“Emang gimana sih.. si Eksanti itu”, aku bertanya lagi dengan penuh selidik.

“Gua tahu, tapi gua nggak mau cerita..”, ia menolak pertanyaanku.

“Acchh.. Lu bohong aja..!”, aku memancing lagi.

“Ecchh.. bener, gua tahu persis!!”, nadanya sedikit meninggi. Naa.. kena deh pancinganku. Lalu ia melanjutkan lagi, “..iya deh gua ceritaain, tapi elu jangan cerita-cerita ke yang lain yaa..”.

“Iya deh, kayak elu nggak tahu gua aja”, aku semakin berusaha memancing pengetahuannya tentang Eksanti.

Lalu si manajer tadi bercerita panjang lebar mengenai latar belakang si Eksanti. Ia memang tahu persis latar belakang keluarganya, pacar-pacarnya, affair-affairnya, bahkan sampai ke masalah-masalah sosial ekonomi-nya. Sebenarnya aku kagum pada pengetahuan dan kedekatannya dengan Eksanti, tetapi aku tetap berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku jadi teringat bahwa ceritanya memang persis sama dengan yang Eksanti pernah ceritakan kepadaku, sehingga tidak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayai ‘pengetahuan’ si manajer ini.

Ketika ia mulai mengakhiri ceritanya, aku bertanya lagi kepada si manajer itu “..terus emang elu ada affair juga sama Eksanti?”

“Yaa.. gimana yaa.., abis gua juga lagi suntuk di rumah sih. Terus Santi juga lagi ada problem, gua kebetulan mau ndengerin problemnya. Terus dia mau ngedengerin problem gua.. Yaa.. saling curhat gitulah. Emang yang begituan begituan namanya affair..?”, aku tahu, ia masih berusaha menyembunyikan cerita yang sebenarnya kepadaku.

“Lho.., tadi elu bilang tahu persis ukuran Santi”, aku mengingatkan.

“Iyaa.. sih, gua emang pernah sama dia, tapi..”, ia berhenti sejenak nampak ragu-ragu melanjutkan ceritanya.

“Tapi gimana..?”, aku semakin penasaran.

“Ceritanya begini.., elu tahu ‘kan kita pernah punya bisnis kapal yang di Surabaya itu”, akhirnya dia tidak tahan juga untuk tidak bercerita.

“Iyaa.. terus apa hubungannya”, aku memancing lagi.

“Kan, Eksanti banyak mbantuin gua di bisnis itu. Jadi gua sama dia jadi makin deket. Gua jadi sering jalan bareng sama dia.”, ia melanjutkan.

“Terus..?”, aku mulai serius mendengarkan.

“Terus kejadiannya kira-kira sebulan yang lalu..”, ia mulai berterus terang, menceritakan kejadiannya secara rinci.. dan Manager itu mulai bercerita.. Hari Jum’at sore selepas Maghrib, udara di kota Surabaya yang biasanya sangat terik, berubah menjadi dingin sekali akibat hujan yang turun seharian. Kami baru saja keluar dari sebuah kantor BUMN di Surabaya, setelah seharian kami melakukan rapat untuk mengurus ijin pelayaran kapal perusahaan kita. Sengaja hari itu, diam-diam tanpa memberitahumu, aku mengajak Eksanti ke kota Surabaya untuk membantuku dalam mengurus perijinan ini. Seperti biasa, menurutku birokrat akan lebih lunak bila dihadapi oleh seorang wanita, apalagi yang pintar, cantik dan sexy seperti dia.

Tadinya kami memang berencana untuk langsung pulang ke Jakarta menggunakan pesawat yang terakhir, tetapi karena waktu yang tidak memungkinkan lagi untuk memperoleh tiket pulang ke Jakarta, maka aku lalu berfikir lain.

“Wah, kayaknya kita harus nginep di Surabaya nih, Santi. Toh besok kita juga libur, kamu nggak keberatan ‘kan?”, ujarku kepadanya.

Terlihat ia berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Nggak apa-apa sih, Mas, tapi kita mau nginep di mana?”

Aku lantas memberi usul yang sangat rasional, “Kita cari hotel terdekat dengan airport saja deh. Nanti saya akan booking dua kamar yang sebelahan yaa.., jadi biar kamu nggak takut”.

“Oke.., itu ide yang baik”, Eksanti berkata singkat menyetujui usulku.

Lalu kami berjalan ke arah taksi yang kebetulan banyak yang sedang menunggu di depan kantor itu. Sebuah taksi berwarna biru segera menghampiri kami yang sedang berdiri di tangga lobby kantor itu.

“Ke hotel Holiday Inn Pak..!”, aku berkata pada sopir taksi begitu kami berdua duduk bersebelahan di kursi belakang. Rasa penat yang ada dalam diriku membuatku melamun. Aku mengingat-ingat pertemuan dengan para birokrat yang baru saja kami lakukan. Tiba-tiba aku tersenyum sendiri ketika aku mengingat, betapa pada saat meeting tadi darahku sempat mengalir deras ketika aku melirik ke arah kaki indahnya yang sedikit tersingkap. Hal itu sempat mengganggu konsentrasiku, sehingga aku agak tergagap-gagap ketika tiba-tiba si birokrat itu memberikan pertanyaan padaku.

Lamunanku tiba-tiba buyar ketika Eksanti berkata, “Kok, Mas senyum-senyum sendiri, ada apa sih..?”.

“Nggak.., nggak apa-apa”, aku menjawab dengan sedikit terbata-bata, sambil memandang lurus ke arah matanya dengan tajam. Eksanti lantas tersipu-sipu, dan mataku pun beralih kembali ke arah kaki indahnya. Dadaku kembali berdegup kencang ketika aku kembali menyaksikan pemandangan indah itu. Rasa penatku seakan langsung menghilang lenyap. Celanaku terasa sesak ketika kejantananku tidak bisa diajak kompromi lagi. Akupun lalu membayangkan hal-hal indah yang selama ini cuma ada di angan-anganku. Akankah bayanganku itu bisa menjadi kenyataan?

Suasana perjalanan dari kantor itu ke arah Airport Juanda benar-benar hening. Aku kembali pada lamunanku, sementara aku melihat Eksanti berusaha untuk memejamkan matanya. Ia nampak sangat letih. Kasihan juga gadis ini, aku sangat beruntung tadi sangat dibantu oleh kehadirannya. Aku berjanji akan memberinya hadiah bila sampai di Jakarta nanti, pikirku dalam hati.

Tidak terasa kami telah sampai di hotel, dan setelah aku membereskan administrasinya, kami segera menuju ke lantai 7 dimana kamar kami berada. Ketika di dalam lift yang menuju lantai itu, kami hanya berdua. Mata kami kembali beradu pandang, aku merasakan adanya desiran hangat dalam diriku, terlebih ketika harum bau parfum Eksanti begitu terasa di dalam lift yang sempit itu. Bayang-bayang tentang keindahan itu kembali menggaguku, dan “tingg..” tiba-tiba buyar begitu lift berhenti di lantai 7. Kami lalu menuju kamar masing-masing yang saling berhadapan pintunya, aku ingat betul nomornya 712 dan 713. Sesaat kami sempat beradu pandang kembali pada waktu membuka kunci pintu kamar. Darahku lagi-lagi berdesir deras, dan Eksanti pun tersipu malu..

******

Pukul 20.00 malam, aku selesai mandi, bayang-bayang Eksanti terus menggodaku. Dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di bawah perutku, aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Bayang-bayang itu semakin menggelorakan birahiku, dan tanpa terasa kejantananku pun menegak ketas membayangkan hal-hal indah yang belum pernah aku alami bersamanya.

“Achh.. seandainya..”, aku berkata dalam hati sambil mengusap-usap handuk yang menyembul ke atas menutupi kejantananku. Lalu, tiba-tiba aku teringat bahwa notulen rapat tadi siang masih ia bawa. Aku segera menyambar gagang telephone di sebelah tempat tidurku, lalu aku memutar nomor telephone di kamarnya. Aku meminta ijin pada Eksanti untuk mengambil notulen itu di kamarnya dan ia pun mengiyakan. Karena aku berpikir nanti terburu malam, maka aku hanya mengenakan kaos dan celana tidur saja, ketika aku beranjak ke kamarnya. Aku tidak pernah memakai celana dalam bila hendak tidur.

Aku mengetok pintu kamarnya, dan Eksanti segera membukanya. Ia sudah selesai mandi, rambutnya masih basah oleh air keraMas, dan saat itu Eksanti hanya mengenakan daster putih tipis yang menerawang. Sesaat jantungku berdegup keras ketika aku memperhatikan bayang-bayang tubuh indahnya yang nampak jelas karena terpaan sinar dari arah belakang kamarnya.

“Masuk dulu deh Mas, nanti saya ambilin!”, begitu sapa Eksanti. Aku mengikuti langkahnya dari belakang, dan aku baru sadar bahwa saat itu Eksanti belum mengenakan celana dalam dan bra. Kejantananku kembali mengeras menyembul dari balik celana tidurku menyaksikan pemandangan indah itu. Aku semakin tidak tahan.

Eksanti berjalan menuju ke meja, tempat ia menyimpan tas berisi berkas-berkas kerja. Aku berdiri tepat di belakangnya. Bau harum tubuh dan rambutnya yang wangi semakin mengelorakan jiwaku. Tiba-tiba Eksanti berbalik badan dan berkata, “..yang ini yaa.., Mas!”, sambil memegang berkas notulen yang aku maksud. Aku terkejut, karena rambutnya yang basah mendadak tersibak mengenai mukaku. Tubuh kami secara tidak sengaja hampir berhimpitan.

Aku tahu bahwa Eksanti juga terkejut karena secara tidak sengaja kulit tangannya sempat menyentuh celana tidurku yang menyembul keras sekali.

“Yaa.. benar, yang itu”, aku terbata menjawab sambil mencoba menerima berkas kertas-kertas notulen itu. Karena kami sama-sama gugup, maka kertas-kertas itu terjatuh dari tangannya. Secara refleks aku mencoba untuk menangkapnya, namun justru pergelangan tangannya yang terpegang oleh tanganku. Kertas-kertas itu jatuh bertebaran di lantai, namun kami tidak menghiraukannya lagi.

Gejolak birahi telah sedemikian menggelora dalam diriku. Dengan sisa keberanian yang ada aku meremas jemari tangannya sambil sedikit menarik tubuhnya ke arahku.

“Mas.., jangan Mas”, Eksanti mendesah lirih, namun ia memejamkan matanya seolah ia menikmati belaian lembut tanganku di jari-jarinya. Lalu dengan sedikit nekad, aku mencoba mendekatkan bibirku ke bibirnya yang tipis itu.

“Mas.., jangan..”, ia masih berusaha menolakku dengan lemah, tetapi tangannya sama sekali tidak berusaha untuk mendorong tubuhku yang menghimpitnya. Ketika sekali lagi ia membuka mulutnya untuk berkata “Jangaann..”, maka aku tidak mennyia-nyiakan kesempatan untuk mencium dan melumati bibir indah itu. Aku menggigit dengan lembut bibirnya. Serangan pertamaku berhasil, ia sama sekali tidak menolak bahkan tangannya memegang pipiku seolah berusaha agar aku lebih leluasa menciuminya.

Tanganku memeluknya dengan erat dan jemariku telah berada disekitar buah pantatnya seakan berusaha untuk menekan badannya lebih rapat ke arahku. Posisi ini membuat Eksanti bisa dengan jelas merasakan tonjolan kejantananku di balik celana tidurku.

“Hhhmm..”, Eksanti mendesah pelan ketika aku menggesek-gesekan kejantananku di sekitar daerah sensitifnya. Kini bibirku telah turun kearah lehernya yang putih. Lidahku menyapu-nyapu di belakang telinga dan membasahi rambut-rambut halus di atas tengkuk lehernya.

Tangan Eksanti kini telah turun dari leherku menuju ke arah buah pantatku, berusaha untuk menekankan kejantananku ke arah kewanitaannya. Lalu tangannya menyusup dari arah karet atas celana tidurku, dan jemarinya meraba-raba buah pantatku. Ia nampak sedikit kaget ketika ia tahu aku tidak mengenakan apa-apa lagi di balik celana tidurku. Jemari itu terus bergerak ke depan berusaha untuk menggenggam kejantananku.

“Ssshh..”, aku mendesis nikmat, saat jemari tangannya bergerak lembut melingkari kejantananku yang telah mengeras. Tanganku sekarang telah meraba-raba puting payudara kirinya, sementara mulutku menciumi putingnya yang kanan. Daster putih yang ia kenakan membasah di sekitar putingnya karena air liurku, sehingga putingnya yang kecil, tegang, merah kecoklatan itu semakin tampak jelas mencuat ke atas. Bergantian aku meraba dan mencium puting kiri kanannya, dan Eksanti mulai mendesis-desis nikmat, “Acchh.., Mas, enak sekalii..”.

Lalu dengan lembut aku membimbingnya ke arah ranjang tidur. Eksanti terduduk di atasnya dan ia merebahkan sebagian badannya di atas tempat tidur. Sementara kakinya yang indah masih terjulai ke atas karpet. Aku menyingkapkan daster yang ia kenakan, dan aku menyaksikan indahnya bulu-bulu hitam lembut yang menutupi kewanitaannya dengan rapi. Sungguh sangat pandai ia merawat dirinya, pikirku dalam hati. Aku berlutut antara kedua paha indahnya yang berjuntai dan aku mengarahkan bibirku ke arah bulu-bulu lembut itu. Lalu aku mulai mengecup dan mengembus-hembuskan nafas hangat yang membuatnya berteriak kecil, “Aw..!” tanda kaget sekaligus senang.

“Aucchh..”, Eksanti mendesis lagi ketika jilatan-jilatan lidahku mulai menyentuh kulit pahanya. Tangannya meremas-remas rambut kepalaku seolah-olah mengarahkan bibirku tepat ke atas kewanitaannya. Bibirku kini telah menempel di bibir kewanitaannya, lidahku menjilati dinding luar kewanitaannya dan Eksanti berteriak pelan menyebut-nyebut namaku. Apalagi kemudian aku mengeluarkan lidahku, dan dengan itu aku mulai menjilat perlahan, menyelipkannya di antara dua bibir kewanitaannya yang bersih dan wangi itu.

Eksanti mengerang, merasakan kenikmatan luar-biasa mulai menyebar dan membuat tubuhnya menegang. Apalagi kemudian lidahku berputar-putar di bagian atas, di tonjolan kecil yang kini memerah itu. Oh! Eksanti menggeliat. “Adduhh.. Mas, enakk..”, Eksanti kembali mendesis sambil mengelinjangkan tubuhnya. Aku bertambah nekat dengan mengisap-hisap klitorisnya, sehingga seakan-akan seluruh tubuhnya tersedot ke bawah. Lelehan air wangi yang sedari tadi telah membasahi dinding kewanitaannya kini makin mengalir deras. Bunyi lidah dan hisapan-hisapanku pada klitorisnya makin menjadikan birahiku kian memuncak. Tangannya juga semakin cepat membenam-benamkan kepalaku sambil terus berteriak-teriak lirih, “..terus Mas, teruss.. Mas, please, jangan berhenti..”

Kemudian salah satu telunjukku menerobos liang yang telah licin dan basah itu. Oh! Eksanti menggelepar, merasakan kegelian-kenikmatan-kehangatan dalam sentakan-sentakan yang menggelora. Apalagi kemudian aku mencengkram kedua kakinya, mengangkat dan mengangkangkannya. Oh! tubuhnya meregang ketika aku memasukkan lidahku,–seluruh lidahku– sampai ke pangkalnya, ke dalam liang yang terasa semakin melebar itu. Apalagi kemudian aku memutar-mutar lidah itu, meraih-raih langit-langit kewanitaannya yang telah berdenyut-denyut nikmat. Oh! Eksanti tak tahan lagi. Kaki Eksanti kini dilipatkan di balik punggungku mencoba untuk menahan derasnya air wangi yang mengalir dari dalam kewanitaannya. Dua menit berselang ketika kewanitaannya sudah basah kuyup oleh air wangi dan air liurku, tiba-tiba badannya menegang, punggungnya melenting ke atas dan Eksanti menjerit, “Achh.., Santi keluar mass..”.

Eksanti merasakan orgasme pertamanya datang menyerbu, menggemuruh bagai air bah yang tak tertahankan. Apalagi kemudian aku menyedot dengan seluruh mulutku, bagai sedang menyantap seluruh kewanitaanmu dengan lahap. Tak tertahankan lagi, Eksanti menggerang, menggelinjangdan bergeletar hebat, berteriak, “Ahh..mass..”. Tersentak-sentak, tubuhnya yang mulai basah oleh keringat menyebabkan ranjang berderik-derik. Segera aku berdiri, aku merebahkan tubuhku di atas badannya dan aku memeluk erat dirinya sambil menciumi mulut kecilnya itu. Tanganku masih berusaha untuk membelai-belai lembut klitorisnya.

“Achh.. Mas, enak sekali, enak sekalii..”, Eksanti mendesis-desis lagi.

*****

Sejenak setelah Eksanti mencapai orgasmenya yang pertama, ia lalu melepaskan pelukanku, dan ia merebahkan diriku sepenuhnya di atas tempat tidur. Eksanti duduk di sampingku sambil matanya dengan gemas mengamati kejantananku yang menjulang ke atas. Eksanti segera meremas kejantananku dengan lembut dan menciuminya. Lidahnya yang basah menyapu-nyapu lembut kepala kejantananku, memberikan rasa geli bercampur nikmat yang luar biasa.

Pertama-tama Eksanti memang cuma mengecup di sana-sini, lentikan-lentikan bara birahi, membuatku tersentak-sentak kegelian. Tetapi tak lama kemudian, dengan satu tangan mencekal-mereMas, Eksanti mulai mengulum dan menghisap. Wow! Aku seperti dilambungkan ke langit-langit, kedua kakiku bagai tak menginjak bumi. Dan Eksanti pun semakin bergairah, bagai bayi dahaga mulai menyedot berkepanjangan, berusaha memasukkan semuanya ke dalam mulut kecilnya yang hangat dan basah.

“Ouughh..”, aku mendesah pelan ketika ujung lidahnya menyentuh-nyentuh lubang pada ujung kepala kejantananku. Sementara tangannya berusaha untuk mengocok-ngocok kejantananku.

“Ooohh.. sayang aku nggak tahan, nggak tahann..”, aku menjerit-jerit pelan.

Sementara tangan yang satu sibuk mencekal-meremas, tangannya yang lain tiba-tiba saja sudah menjelajahi selangkangnya sendiri. Di bawah sana sudah mulai lembab dan gatal. Maka Eksanti pun mengusap-usap, menelusur dengan jari tengahnya, menguak lepitan bibir kewanitaannya yang terasa mulai menebal. Dengan ujung jempol, Eksanti sentuh pula bagian atas, tempat sebuah benjolan kecil yang mulai mengeras, mengirimkan getaran-getaran nikmat ke seluruh tubuhnya. Jari tengahnya kini mulai melesak, mengurut-urut permukaan liang yang telah pula basah dan licin. Eksanti menggelinjang sendiri. Geli dan nikmat sekali rasanya.

Dengan mulut penuh, Eksanti cuma bisa merasakan nikmat. Aku mengerang-ngerang sambil memegang kepalanya, mengusap rambutnya yang legam, yang di sana-sini menyentuh bagian dalam pahaku, menambah nikmat. Kalau begini terus, pikirku, sebentar lagi aku akan menyebabkan Eksanti tersedak. Maka dengan lembut aku menarik tubuhnya untuk segera berdiri. Kami berduapun lalu berpelukan, dan aku mengulum-melumatkan bibirnya. Sambil tetap berdiri, kami bergeser perlahan-lahan menuju ranjang. Bagai menari, kami bergoyangan perlahan, seirama menuju tempat peraduan.


Lalu Eksanti beringsut dari posisi duduknya dan kini Eksanti duduk di atas kejantananku. Buah pantatnya yang kecil tetapi padat itu, ia geser-geserkan pelan-pelan pada kepala kejantananku. Lalu Eksanti membibing kejantananku menuju lubang kewanitaannya. Ketika kejantanan itu tepat berada di depan lubang nikmat itu, Eksanti lalu menekankan badannya ke bawah sehingga kejantananku pelan-pelan terbenam di dalam lubang kewanitaannya.

Eksanti mengerang lagi, merintih nikmat, merasakan otot perkasa yang panas membara menerobos masuk ke dalam tubuhnya yang sedang bergeletar hebat. Segera saja kembali muncul kenikmatan baru di tubuhnya. Dan aku langsung meremas dada indahnya yang sintal itu, yang telah pula mengeras bagai hendak meledak. Eksanti menjerit kecil, kedua tangannya terentang pasrah, jari-jarinya meremas-remas seprai yang memang sudah berantakan tak karuan. Nafasnya tersengal-sengal, matanya terpejam nikmat, mulutnya setengah terbuka.

“Oouugghh.., Mas”, Eksanti berteriak nikmat sambil berusaha menggigit bibir bawahnya. Lelehan air wangi kembali terasa membasahi kejantananku hingga menambah licinnya gesekan-gesekan nikmat dinding kewanitaannya. Eksanti bergerak turun naik perlahan-lahan sambil tangannya mencengkeram dadaku untuk menopang badannya.

“Sshh.. enak sayangg..”, aku mendesis nikmat saat klitorisnya terasa keras bergeser-geser di sepanjang kejantananku. Eksanti bergerak turun naik makin cepat dan semakin cepat, sambil matanya terpejam-pejam menikmati rasa birahinya. Aku sangat menikmati ekspresi wajahnya saat itu, dan tanganku memilin-milin dua buah putingnya yang juga sudah amat mengeras.

“Teruss.. sayangg.., teruskan, lebih dalam lagi..”, aku berteriak-teriak penuh rasa nikmat. Eksanti semakin cepat bergerak membenamkan seluruh kejantananku di dalam liang surgawinya.

“Ouchh.. Mas, enak Mas, enak sekalii..”, Eksanti menjerit-jerit kecil sambil mencakar-cakar lembut dadaku.

Dalam posisiku yang terbaring, aku berusaha mengimbangi gerakannya dengan mengayun-menghujam dalam sentakan-sentakan pendek. Eksanti merasa bagai ditikam-tikam, tetapi tanpa sakit, melainkan penuh berisi kenikmatan. Pinggulnya mulai bereaksi bagaikan seorang penari. Setiap hujaman dengan dorongan dan goyangan, sehingga kedua tubuh kami yang berpeluh bertumbukkan tepat di tengah-tengah. Setiap tumbukan mengirimkan getaran-getaran nikmat ke seluruh penjuru tubuh. Dua menit berselang, lalu Eksanti mencengkeram erat lengan tanganku sambil berteriak, “Ouchh.. Mas, Santi enakk.. sekalii..”, dan seluruh badannya menegang seiring dengan tercapai orgasmenya. Eksanti mengerang lagi, merintih lagi, berteriak-teriak kecil lagi.

Orgasme keduanya datang sangat cepat, posisnya masih tetap duduk di atasku, dan kedua pahanya erat menjepit pinggangku yang tak kenal lelah mengayun-menghujam. Dengan sekali hentak, aku melesakkan seluruh kelaki-lakianku jauh ke dalam tubuhnya, menyentuh bagian paling dalam, menyebabkan Eksanti berteriak nikmat dan meregang-menggelepar. Takut kedengaran kamar sebelah, aku segera membungkam mulut kecilnya dengan ciuman. Akibatnya Eksanti cuma bisa menggumam, “Ngg..” ketika puncak birahinya tiba dalam gelombang-gelombang besar yang mengguncangkan tidak saja tubuhnya, tetapi juga tubuhku yang sedang erat memangkunya di atas kejantananku. Ranjang kami berderit-derit bagai memprotes.

Setelah membiarkan dirinya sejenak tenggelam dalam gelombang orgasmenya, aku membantu mengangkat tubuhnya, menarik kelaki-lakianku keluar disertai protes lemahnya, “Mas, .. jangan dikeluarkan, Mas..please”. Tetapi aku tidak bermaksud berhenti. Sebaliknya, aku ingin memberikan yang terbaik baginya di malam yang dingin ini. Kapan lagi kesempatannya? Apalagi jam baru menunjukkan pukul 21.00. Masih banyak waktu untuk sebuah percintaan-bergairah.

Dengan kedua tanganku yang kokoh, aku menggulirkan tubuhnya sehingga kini Eksanti tertelungkup dengan nafas yang masih memburu dan dada yang turun-naik dengan cepatnya. Eksanti diam saja. Pasrah saja. Dan aku menggunakan kedua telapak tanganku untuk menyingkap kewanitaannya dari belakang. Lalu aku menghujamkan kelaki-lakianku dengan sekali, masuk sampai ke pangkalnya, membuat Eksanti tersentak. Oh! Eksanti membiarkan diriku berbuat sesuka hati, karena kewanitaannya kini sudah sangat sensitif. Diapakan saja, Eksanti pasti segera mencapai orgasme. Dan betul saja. Tikaman-hujamanku belum lagi mencapai hitungan ke delapan, ketika orgasme ketiganya datang lagi menggemuruh. Kali ini terasa lebih hebat, karena gosokan-gosokan kejantananku sangat keras terasa di dinding-dinding kewanitaannya, karena kedua kakinya kini menyatu, membuat aku terjepit erat. Kesat sekali. Nikmat sekali.

Orgasme ketiga juga terasa lebih panjang dan lebih intens, karena aku tak menghentikan hujaman kejantananku. Aku tetap menyerbu-menikam-nikam dengan nafas yang tak kalah menggemuruh. Eksanti mengerang-merintih-menjerit. Eksanti menggigit seprai yang telah pula basah oleh keringat. Kegelian yang tak tertahankan, bercampur kenikmatan yang meletup-letup, memenuhi seluruh tubuhnya yang terhimpit di antara kasur dan tubuhku. Eksanti tak tahan, tapi Eksanti tak ingin aku berhenti pula. Eksanti membiarkan gelombang demi gelombang kenikmatan merajah tubuhnya.

Dan akupun merasakan kenikmatan luar biasa ketika Eksanti mencapai puncak birahi untuk kesekian kalinya ini. Aku merasakan betapa kejantananku bagai dilumat oleh lapisan sutra yang lembut dan hangat. Bagai diremas-remas sambil disedot-sedot, sehingga bagian ujung yang sangat sensitif itu terasa hendak segera meledak. Aku mengayun-ayunkan terus pinggangku, menghujam-hujamkan terus kejantananku, karena kini aku tak bisa lagi berhenti. Aku harus terus menghujam, harus terus menikam, harus terus menikmati sensasi-sensasi kenyal di sekeliling kejantananku.

Eksanti merasakan nikmat luar biasa ketika kejantananku mencapai ketegangan maksimum. Di tengah gelombang orgasmemu, Eksanti bisa merasakan aku sedang menuju orgasme pula. Dan ini memicu gairahnya semakin kuat. Eksanti menjepitkan kedua paha lebih erat lagi, sehingga kini Eksanti bagai memeras kejantananku, meremas-menyedot agar aku segera mencapai puncak birahi bersama-sama.

“Terus, mass.. terus.. terus..,” ucapnya merintih-rintih. Dan aku hanya menyahuti dengan erangan, karena aku kini sedang mengejang merasakan kenikmatan yang luar biasa menyergap tubuhku. Aku juga menikmati desahan nikmat nafasnya, dan aku masih bergerak turun naik, turun naik.. menanti-nanti datangnya saat nikmatku sendiri.

Sesaat kemudian, “..ouucchh.. Santii.., Mas nggak kuat lagii..”, aku menjerit sambil memeluk erat tubuhnya dari belakang.

Dengan sebuah hujaman terakhir yang sangat dalam, aku berteriak, “Akhh..!”, dan Eksanti menyambut dengan jeritan kecil, lalu mengerang panjang ketika merasakan semprotan-semprotan hangat memenuhi seluruh rongga kewanitaannya. Nikmat sekali.. Aku mengeluarkan lava panas di dalam lubang kewanitaannya. Dinding kewanitaannya terasa memijat-mijat seluruh kejantananku, lembut, lembut, lembut sekali. Eksanti juga merasakan puncak birahinya bagai dipicu kembali oleh semprotan-semprotan itu. Gelombang-gelombang kenikmatan masih menggetarkan tubuhku yang kini lunglai. Kepalanya menengadah, ia menciumi bibirku, penuh mesra, penuh rasa terimakasih. Cairan-cairan cinta kami berleleran memenuhi kedua pahanya, menempel pula di pahaku. Lava panas itu mengalir turun lagi dari dalam kewanitaannya sesaat waktu kami berpelukan erat. Aku menciumi keringat yang mengalir di sepanjang belakang lehernya dan Eksanti pun terkulai lemas di bawah tubuhku. Akhh.., betapa liarnya kami berdua malam ini, gumamku dalam hati.

Lalu Eksanti merebah kesamping sambil berkata dengan nada yang manja, “Mas, tadi Santi rasanya enak sekali. Santi keenakan sampai empat kali.., Mas hebatt.. deh. Sekarang Santi capek banget, pengin bobo duluu..”.

Aku tersenyum sedikit bangga sambil mencium keningnya. Lalu tanpa tersadar Eksanti terlelap dalam pelukan tanganku. Kami tertidur tanpa selembar benangpun menempel di kulit kami, seolah-olah lupa akan dinginnya AC sentral di hotel Holiday Inn malam itu.

************

Pukul empat pagi Eksanti terbangun, udara masih sangat dingin. Eksanti dengan mesra menciumi pipiku sambil berkata ,”Bangun Mas, kita harus mengejar pesawat pagi ini”.

Aku terkaget sejenak lalu tersenyum sambil membalas ciumannya dengan melumati bibir mungilnya. “Mandi yuk Mas, nanti kita telat”, begitu katanya sambil menyelendangkan selimut ditubuhnya.

“Santi duluan deh, aku masih kedinginan nih”, aku menjawab sambil mencoba menarik selimut menutupi badanku.

Eksanti lalu berlalu menuju kamar mandi. Sementara ia masuk ke kamar mandi, aku memandang langit-langit hotel sambil tersenyum sendiri mengingat kejadian indah malam tadi. Lalu aku mendengar suara air mengalir di kamar mandi, menandakan bahwa Eksanti sedang mengisi bathtub. Tanpa aku sadari kejantananku kembali mengeras membayangkan dirinya lagi. Aku mendengar suara Eksanti sedang menggosok gigi, sementara air pengisi bathtub masih mengalir deras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label